PELUANG DAN TANTANGAN SEKOLAH ISLAM
DI INDONESIA
Lempuing Jaya. Oktober 2015
Oleh : AGUS SHOLIKHIN, S.Si. M.Pd.I
Alamat : Desa Lubuk Seberuk Kec Lempuing Jaya
Kabupaten Ogan Komering Ilir
Email : agussolikin@gmail.com
Hp. O81332322054
Abstarak
Sekolah berbasis Islam menyandang beban yang jauh lebih berat atau bahkan ganda. Selain harus menyiapkan kurikulum yang sangat bagus pola kepmpimpinan yang harus nerlandaskan keislaman yang sangat kuat. Agar tidak muncullah sebuah stigma bahwa sekolah islam tidak jauh berbeda dengan sekolah biasa, yang basis keilmuan ‘agamanya’ mulai diragukan. Padahal, sesungguhnya basis tersebut merupakan letak elan vitalnya yang menjadi andalan dari produk sekolah islam. Atau juga sebaliknya, karena notabenenya sokalah islam yang berarti sekolah Agama Islam (madrasah), lebih berorietasi pada bidang ilmu agama, sementara bidang ilmu umum terabaikan. Jadi, posisi madrasah belum bisa merepresentasikan sebagai peretas adanya dikotomik keilmuan itu
Kata kunci : Sekolah agama islam (Madrasah)
PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Hal ini dilakukan agar hasil aspek dan hasil budaya terbaik yang mampu disediakan setiap generasi komunitas manusia untuk kepentingan generasi manusia muda agar melanjutkan kehidupan dan cara hidup mereka dalam konteks sosial-budaya itu pula.Pendidikan juga merupakan kebutuhan yang sangat esensi dalam Pembina dan mengembangkan pribadi manusia menyangkut aspekrohaniah dan jasmaniah.
Diantara masalah yang esinsial adalah kurikulum yang perlu disampurnakan dan usaha ini sudah sering dilakukan oleh pemerintah tapi sepertinya belum membuahkan hasil yang maksimal. Dari beberapa gambaran tersebut, Program Sekolah Islam ini merupakan salah satu untuk meningkatkan mutu pendidikan islam, ini dapat menumbuhkan manusia-manusia hususnya kaum pemuda Indonesia yang dapat meberikan kontribusi terhadap pembanguna islam di Indonesia.
Sejak lahirnya SKB tiga Menteri tahun 1975 (Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Dalam Negeri) eksistensi Sekolah Islam (Madrasah) diakui sama derajatnya dengan sekolah umum. Lahirnya SKB tersebut dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai Perguruan Tinggi (Hasbullah, 1995:181).
Dibandingkan dengan sekolah umum, madrasah menyandang beban yang jauh lebih berat atau bahkan ganda. Akibatnya muncullah sebuah stigma bahwa madrasah tidak jauh berbeda dengan sekolah biasa, yang basis keilmuan ‘agamanya’ mulai diragukan. Padahal, sesungguhnya basis tersebut merupakan letak elan vitalnya yang menjadi andalan dari produk madrasah. Atau juga sebaliknya, karena notabenenya madrasah yang berarti sekolah Agama Islam, lebih berorietasi pada bidang ilmu agama, sementara bidang ilmu umum terabaikan. Jadi, posisi madrasah belum bisa merepresentasikan sebagai peretas adanya dikotomik keilmuan itu.
Untuk meningkatkan prestise di mata masyarakat, madrasah seharusnya dikelola dengan sistem manajemen yang baik. Selama ini, problema yang masih dirasakan oleh madrasah adalah kurang adanya kepercayaan masyarakat Indonesiaterhadap pendidikan madrasah. Karena itu, untuk membuka peluang kepercayaan dari masyarakat, maka madrasah harus melakukan rekayasa fisik (hardware), seperti gedung belajar, laboratorium, serta sarana-prasarana lainnya yang menunjang proses pembelajaran. Non fisik (softwere), seperti rekuitmen SDM atau guru dan karyawan yang kualitatif dan memiliki jiwa kompetensi yang dedikatif, mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan masing-masing madrasah, pengaturan administrsi yang rapi dan seterusnya. Melakukan penciptaan lingkungan (enfirimental), seperti adanya komukasi antara siswa dengan siswa dengan menggunakan bahasa asing, penanaman intregitas keagamaan melalui shalat berjama’ah, Baca Al-Quran, I’tikaf dan lain sebaginya.
Jika komponen di atas dijadikan ramuan yang komprehensif, maka eksistensi madrasah akan menjadi ‘sekolah plus’ yang menjadi tumpuan harapan dari masyarakat. Madrasah dapat melakukan program-prgram tambahan yang dapat menjadi nilai “tambah jual” di era kompetisi sekolah saat ini.
PEMBAHASAN
- Menciptakan suasana religius di sekolah
Sebagai seorang pendidik, guru berkewajiban untuk menciptakan suasana religius di lingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksudkan dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values), nilai-nilai penghayatan (experiental valuse) dan menumbuhkan semangat kesadaran beragama. Karena itu, untuk menciptakan susana tersebut, perlu dikembangkan dengan model-model. Berikut ini model-model pengembangan suasana religius di sekolah;
Pertama, model fundasional, yakni penciptaan suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupan akhirat, di samping aktivitas duniawi yang berpijak pada tataran moral-etis. Penciptaan suasana religius bersumber pada nilai-nilai normativ dan doktrin agama yang telah diyakini kemutlakan kebenarannya. Sehingga semua yang berada di sekolah merasa terpanggil untuk menjalankan aktivitas keagamaan.
Kedua, melalui model struktural yakni penciptaan suasana religius dengan melalui pendekatan yang disemangati oleh adanya kedisiplinan peraturan, penanaman kultur atau budaya yang melibatkan dari seluruh jajaran pejabat sekolah. Model seperti ini dalam dunia kekuasaan dikenal dengan sistem ‘top-down’, yaitu prakarsa yang muncul dari atas untuk mendisplinkan bawahannya. Namun sistem tersebut, dapat dikembangkan dengan penuh sikap bijaksana, kearifan, elegan untuk menciptakan kegiatan keagamaan di sekolah (Muhaimin, 2001:306).
Ketiga, model operasional, yakni kelengkapan sarana-prasarana yang menunjang bagi para siswa untuk melakukan aktivitas keagamaan, misalnya, mushalla, kitab baca-tulis arab dan sebagainya. Serta penciptaan suasana religius seperti ini dapat dikembangkan melaui acara-acara peringatan hari besar Islam, dan tentu secara operasionalnya guru harus mengkoordinir, mengawasi serta mendampingi dalam mengarahkan mereka.(Fauzan Dkk, 2010 : 69)
- Problem Pembelajaran PAI
Salah satu problem serius yang masih dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam adalah problem kerangka metodologis-epistemologis pengajaran pendidikan agama Islam (Mulkhan, dkk., 1998:49). Kenyataan ini dapat kita temukan bahwa masih banyak pengajaran yang masih konvesional tradisional. Yakni pengajaran yang menitikberatkan pada aspek korespodensi-tekstual, dan lebih menekankan kemampuan anak didik untuk menghapal teks-teks keagamaan yang ada. Dengan pendekatan yang mengutamakan aspek koherensi-kognitif, maka akibatnya adalah kensenjangan antara wilayah gnosis dengan wilayah praxis(Muhaimin, 2001:94) .
Bertolak dari masalah di atas, maka upaya yang harus dilakukan adalah melakukan rekonstruksi metodologis dan pendekatan yang kontekstual. Upaya ini sesungguhnya mendorong pembelajaran pendidikan agama Islam agar menjadi suatu kerangka pandangan hidup (way of life) ke depan yang bermafaat, baik secara personal maupun secara kolektif.
Metodologi pengajaran sebaiknya lebih ditekankan pada pembentukan nilai (values) (Muhaimin, 2001:168). Sebagai sebuah nilai, materi pendidikan agama Islam akan mempunyai daya empirik yang dapat menjadi acuan dalam kehidupan mereka sehari-sehari. Tujuan dari pembalajaran pendidikan agama Islam bukan berhenti pada wilayah yang bersifat kognitif, melainkan harus bersentuhan pada wilayah afektif dan psikomotorik. Sebagaimana ranah yang dibuat Taksonomi Bloom, bahwa ranah kedua dan ketiga menjadi tujuan utama pendidikan.
Internalisasi nilai keagamaan dalam pengajaran PAI lebih diorientasikan untuk merespons isu-isu kontemporer, misalnya; wacana perkelahinan remaja/siswa, tindakan kriminal, narkoba, HAM, dan seterusnya. Dengan pendekatan ini siswa dapat diajak untuk mendiagnosa barbagai persoalan di atas, sehing diharapkan dapat menumbuhkan kesadarannya untuk berbuat yang positif dan menghindar dari fenomena negatif.
Pembalajaran PAI harus lebih cosekuen terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama islam yang bersifat kognitif menjadi ‘makna’ dan ‘nilai’ yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi siswa untuk bergerak, berbuat, dan berperilaku secara konkret dalam kehidupan praksis sehari-hari.
Dengan demikian, metodologis pembelajaran PAI seharusnya lebih di arahkan pada pembentukan pandangan hidup (way of life). Jadi pendidikan agama Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup orang Islam.
- Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik
Berlandaskan Undang-undang guru dan dosen menghatarkan bahwa seorang guru dituntun menjadikan dirinya seorang yang profesionalisme dalam bidangnya. Upaya pemerintah masih melakukan tahapan perbaikan pada guru-guru madrasah, Sebagai realisasi dari komitmen untuk peningkatan kualitas guru, sejak tahun 2007 telah dilakukan kebijakan peningkatan kualitas guru melalui beberapa program penting seperti program kualifikasi dengan tujuan agar guru dalam jabatan yang belum memenuhi syarat kualifikasi pendidikan diberi keseempatan untuk melanjutkan pendidikan jenjang S1. Bahkan guru-guru madrasah yang memiliki potensi akademik yang bagus dan motivasi tinggi untuk melanjutkan pendidikan, diberi fasilitas untuk melanjutkan ke jenjang S2 baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun yang tidak.
Regulasi yang berhubungan dengan guru atau pendidikan dan tenaga kependidikan telah di atur pada pasal 39 sampai pasal 44 dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Demikian juga Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, telah mengatur dan menetapkan segala hal yang berkaitan dengan Guru. Implementasi dari Undang-Undang tersebut telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. PP tersebut telah mengatur norma-norma delapan Standar Nasional Pendidikan meliputi; Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan dan Standar Penilaian Pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru menyatakan guru adalah pendidik professional. Guru yang dimaksud meliputi guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru bimbingan dan konseling atau konselor. Guru profesional dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik yang relevan dengan mata pelajaran yang diampu dan menguasai kompetensi sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen. Pengakuan guru sebagai pendidik profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui suatu proses sistematik yang disebut sertifikasi.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagai salah satu upaya peningkatan mutu guru diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan pada satuan pendidikan formal secara berkelanjutan, maka guru dalam jabatan yang telah memenuhi persyaratan dapat mengikuti sertifikasi melalui: (1) Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL), (2) Portofolio (PF), (3) Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), atau (4) Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program sertifikasi yang telah diselenggarakan sejak tahun 2007 telah meluluskan sebanyak 252.543 orang guru, bila dibandingkan dengan jumlah seluruh guru madrasah 879.787 orang, memang masih cukup banyak guru madrasah yang belum mendapatkan sertifikat pendidik melalui program ini. Pertambahan jumlah guru bersertifikat 4 tahun terakhir cukup signifikan.
- Kepmimpinan
Tidak kalah pentingnya sebuah sekolah islam yang memang di tuntut seseorang pemimpin yang sangat peka terhadap perubahn gelobalisasi. Kepemimpinan adalah seperangkat proses yang menciptakan organisasi mampu mengadaptasi pada lingkungan yang berubah secara signifikan. Kepemimpinan mendefinisikan seperti apakah masa depan itu, membimbing orang sesuai dengan visi tersebut, dan memberi inspirasi kepada mereka untuk membuat hal itu terjadi meskipun banyak hambatan ( Aep Saefullah : 2010) Kepemimpinan atau leadership merupakan proses pengeruh atau mempengaruhi antar pribadi atau antara orang-orang dalam situasi tertentu. Menurut George R Terry , sebagai mana dikutip oleh Sardjuli, “term kepemimpinan tak lepas dari unsur influencer, yakni yang mempengaruhi dan influence yakni yang dipengaruhi. Sardjuli menyimpulkan ada beberapa unsur pokok kepemimpinan, yaitu;
- Adanya interaksi, yaitu hubungan timbale balik saling mempengaruhi antara anggota dalam kelompok
- Adanya pemimpin, yaitu orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mau berbuat atau bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan mampu membina serta mempengaruhi orang dan mengembangkan interaksi antar anggota dalam kelompok.
- Adanya kelompok orang terpimpin atau pengikut, yaitu orang yang menerima pengaruh .
- Adanya sarana atau alat untuk mempengaruhi orang lain dan untuk menjalin serta meningkatkan integritas kelompok, sehingga mereka secara sadar dan ikhlas mau bekerja sama
- Adanya tujuan yang akan dicapai bersama
Ada beberapa definisi kepemimpinan:
- Kepemimpinan dalam Lughah:
Para fuqaha’ mendefinisikannya sebagai kepemimpinan umum SAW yang wajib dipatuhi oleh seluruh ummat islam.
- Kepemimpinan dalam Al-Qur’an:
Memiliki Loyalitas yang Mutlak: “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Alloh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Alloh). Dan barangsiapa mengambil Alloh, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Alloh itulah yang pasti menang”.
- Kepemimpinan dalam As-Sunnah
Seorang pemimpin harus mempunyai sikap yang membentuk kepribadian adil dan amanah. Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh Alloh SWT diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-Nya pada hari kiamat kelak, ia pun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di hari kiamat, dan pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya, sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3 golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, di samping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta.
Kesimpulan
Dibandingkan dengan sekolah umum, Sekolah berbasis Islam menyandang beban yang jauh lebih berat atau bahkan ganda. Selain harus menyiapkan kurikulum yang sangat bagus pola kepmpimpinan yang harus nerlandaskan keislaman yang sangat kuat. Agar tidak muncullah sebuah stigma bahwa sekolah islam tidak jauh berbeda dengan sekolah biasa, yang basis keilmuan ‘agamanya’ mulai diragukan. Padahal, sesungguhnya basis tersebut merupakan letak elan vitalnya yang menjadi andalan dari produk sekolah islam. Atau juga sebaliknya, karena notabenenya sokalah islam yang berarti sekolah Agama Islam (madrasah), lebih berorietasi pada bidang ilmu agama, sementara bidang ilmu umum terabaikan. Jadi, posisi madrasah belum bisa merepresentasikan sebagai peretas adanya dikotomik keilmuan itu.
DAFTAR PUSTAKA
UU Pendidikan No 20 Tahun 2003
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan ( PT.Raja Garapindo perseda Jakarta Tahun 1995)
Muhaimin, Arah baru pendidikan islam (CV Nuansa Indah Bandung Tahun 2001)
Fauzan Dkk, , Sekolah berbasis pendidikan karkert islam (cv kencana indah Jakarata 2010 )
Abdul Munir Mulkhan Dkk, rekonstruksi pendidikan dan tradisi pesantren dalamReligiustas IPTK. (CV Pustaka Pelajar Surabaya Tahun 1998)
Drs.Aep Saefullah,MH., kiat menjadi pemimpin yang sukses;Bandung, pustaka Reka Cipta Tahun 2010,