Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh pada 22 Oktober setiap tahunnya, merupakan momen bersejarah penetapan Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo. Momentum ini sekaligus untuk mengingat dan meneladani semangat jihat para santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tanggal 22 Oktober merujuk pada peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh KH Hasyim As’ari yang berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara sekutu pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Hal ini jelas memberikan sebuah kesimpulan bahwa, Santri -Umat Islam- berperan besar dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI. Salah satu tokoh santri yang bisa dijadikan suri tauladan dalam meneguhkan kembali semangat mempertahankan dan menjaga NKRI adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang akan kita bahas dibawah ini.
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang sering kita dengar Ki Hajar Dewantara adalah Santri, Tokoh Pahlawan sekaligus Bapak Pendidikan Nasional yang lahir di Pakualaman 2 Mei 1889, cucu Sri Paku Alam III. Beliau merupakan tokoh pendidikan nasional yang hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Berbagai literatur menyebutkan bahwa, beliau merupakan tokoh Nasionalis Sekuler. Jika kita kembali pada sejarah masa kecil beliau, ki hajar Dewantara adalah santri dari seorang ulama bernama Kyai Sulaiman Zainudin, Prambanan. Semasa di Prambanan inilah Ki Hajar Dewantara mendapat wawasan tentang keagamaan sehingga beliau menjadi orang yang bervisi membebaskan manusia dari keterpurukan dan diskriminasi khususnya dalam bidang pendidikan yang dalam dewasa ini kita sering dengar dengan istilah “Pendobrak Pendidikan”.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara dikenal dan diakui dunia karena kompetensi, keahlian, prestasi, dan sumbangsihnya yang luar biasa dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Dalam bidang politik beliau telah mengembangkan visi nasionalisme kerakyatan, dalam dunia jurnalistik beliau dianugerahi gelar Perintis pers Nasional, bidang kebudayaan beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari UGM, dan dalam dunia pendidikan beliau mengembangkan sistem pendidikan nasional yang dikenal dengan istilah Trilogi Kemimpinan dan berdirinya Perguruan Tamansiswa.
Mahakarya beliau yang sangat terkenal dan digunakan sampai sekarang adalah Trilogi Kepemimpinan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo bangun karso, tut wuri handayani” (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Trilogi ini semula diperuntukan kalangan pendidikan, namun dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan telah menjadi salah satu model kepemimpinan nasional, kalangan pemerintah, TNI/Porli, maupun organisasi dan lembaga kemasyarakatan-keagamaan– seperti pondok pesantren.
Trilogi Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara jika diimplikasikan pada komponen pesantren akan memberikan pemahaman sebagai berikut:
“ing ngarso sung tulodho”. Filosofi ini memberikan pemahaman bahwa ketika menjadi pemimpin, pendidik, harus menjadi suri tauladan yang baik. Hal ini mengingatkan kita bahwa kehidupan santri diajarkan tentang pendidikan karakter oleh kyainya dalam hal ibadah ataupun akhlaknya, seperti: santri diajak untuk berjamaah, mengaji, memuliakan tamu dan lain sebagainya. Kemudian jika kita Implikasi dalam konteks kepemerintahan adalah pemerintah dalam pengambilan keputusan atau kebijakan harus sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan mudharat bagi rakyatnya.
“ing madyo bangun karso”. Filosofi ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa menjadi pemimpin, pendidik, harus senantiasa memberikan dan membangun motivasi, menebarkan hal-hal positif sehingga terciptanya suasana yang kondusif. Hal ini mengingatkan kita pada kegiatan santri yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: musyawarah, aktif menebarkan konten positif di media sosial, asatidz bukan hanya mengajar tapi juga sesekali memberikan motivasi pada santrinya serta berdakwah islam rahmatal lil ‘alamin. Implikasi lain dari pemahaman ini adalah seorang Jurnalis/Pers harus menjadi penengah antara pemerintah dan masyarakat.
“tut wuri handayani”. Filosofi ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa menjadi pemimpin, pendidik, harus mengikuti dari belakang sambil memberikan pengaruh. Jika anak didik salah barulah diberikan pemahaman yang benar (Sistem Among). Implikasi dari pemahaman ini adalah santri bisa jadi pemain dibelakang layar yang selalu menyokong yang ada didepan, seorang santri menjadi warga negara yang baik dengan cara mentaati dan melaksanakan apa yang diperintahkan atasannya selama itu baik dan tidak menimbulkan mudharat-nya serta mengawal berbagai kebijakan yang ada supaya tidak terdinya ketimpangan sosial, diskriminasi, eksploitasi dll.
Lantas…. kenapa santri sangat dibutuhkan ditengah masyarakat dan ketika berada ditengah-tengah masyarakat ia sangat bermanfaat ? tentunya hal ini telah mencapai kesepakatan bahwa, Trilogi Kepemimpinan yang diajarkan oleh Ki Hajar Nusantara secara tidak langsung sudah berrelevansi (bersesuai) dengan kehidupan Santri. Santri adalah komponen Pesantren yang paling energik dan kuat untuk melakukan perubahan tatanan sosial yang lebih baik, untuk itu peran santri dalam era sekarang sangat dibutuhkan dan diharapkan salah satunya dalam upaya peningkatan pembangunan Sumber Daya Manusia dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pada momen Hari Santri Nasional ini santri diharapkan mampu bangkit dan menumbuhkan kembali jiwa nasionalisme dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thariq,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
“Santri Sehat Indonesia Kuwat”
Ditulis oleh : Imam Royani Hamzah, M.E.
Dosen Muda Inspiratif di STAI Ash-Shiddiqiyah (materi ini disampaikan pada peringatan Hari Santri Nasional di STAI AS-Shiddiqiyyah Lempuing Jaya, 22 Oktober 2020).