
Walt Whitman Rostow, seorang ekonom asal Amerika Serikat yang terkenal dengan teorinya tentang lima tahap dalam proses pembangunan. Dalam teori tersebut, Rostow menyebutkan bahwa tahap akhir atau puncak dari lima tahap pembangunan adalah masa ketika manusia berada pada kondisi dengan konsumsi masal yang tinggi.
Nampaknya, apa yang diungkap Rostow telah terjadi pada masyarakat kita. Di mana, masyarakat sudah menjadi konsumen secara masal dalam berbagai produk barang dan jasa. Terlebih, saat memasuki bulan suci ramadan seperti saat ini. Pola konsumsi masyarakat pada umumnya cenderung mengalami peningkatan yang signifikan.
Peningkatan konsumsi saat ramadan bisa ditelusuri melalui harga-harga barang kebutuhan pokok yang mulai merangkak naik di pasaran. Naiknya harga-harga tersebut disebabkan oleh meningkatnya permintaan dari para konsumen (masyarakat). Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, jika semakin banyak barang yang diminta maka harganya akan naik (asumsi cateris paribus).
Dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari misalnya, sangat jelas terlihat kenaikan konsumsi saat ramadan. Jika biasanya konsumsi keluarga cukup dengan makanan pokok seperti nasi, sayur dan lauk-pauk. Namun, saat ramadan tentu tidak demikian. Tidak cukup hanya dengan nasi, sayur dan lauk-pauk saja, melainkan juga ditambah dengan berbagai makanan tambahan saat berbuka puasa (takjil) yang biasanya lebih dari satu macam. Bahkan, terkadang makanan pokok seperti sayur dan lauknya juga bermacam-macam.
Perilaku konsumtif masyarakat saat ramadan berimbas pada pengeluaran yang lebih besar dari pada biasanya. Biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga mengalami pembengkakan yang signifikan hingga hari lebaran tiba. Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan tujuan dari adanya ibadah puasa ramadan itu sendiri (Al-baqarah: 183).
Perintah untuk berpuasa ramadan sejatinya melatih kepedulian terhadap sesama. Kita yang berpuasa menahan rasa lapar dan haus di siang hari selama satu bulan penuh, agar bisa merasakan bagaimana nasib saudara kita yang selama ini hidup dalam kekurangan yang terbiasa dengan rasa lapar dan haus. Sehingga, mampu menumbuhkan rasa kepedulian untuk berbagi terhadap sesama.
Maka dari itu, hadirnya ramadan sejatinya adalah untuk tujuan takwa dan juga agar peduli terhadap sesama. Bukan malah sebaliknya, memunculkan perilaku konsumsi secara berlibihan. Pola konsumsi ramadan semestinya sewajarnya saja. Sebagaiamana diajarkan dalam ilmu ekonomi Islam, bahwa konsumsi bukan untuk mencapai kepuasan semata, melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia-akhirat (fallah). Semoga hidup kita senantiasa dalam keberkahan dijalan-Nya. Aammiin! Wallahu a’lam bisshowaf.
Ditulis oleh Misbahul Munir
Staf Pengajar di Jurusan Ekonomi Syariah STAI Ash-Shiddiqiyah Lempuing Jaya OKI
Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat. Dipublikasikan kembali atas izin penulis untuk kepentingan pengembangan lembaga tempat penulis mengabdi.