Salah satu sektor yang terpukul saat terjadi pendemi Covid-19 adalah sektor pendidikan. Bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di seluruh dunia. Jika pada keadaan normal seperti biasanya, dunia pendidikan menjalankan proses belajar mengajar secara langsung. Namun kali ini dipaksa untuk berhenti secara tiba-tiba dan dialihkan menggunakan cara-cara baru (new normal). Salah satu cara baru tersebut adalah dengan melaksanakan pendidikan secara online dan pembelajaran jarak jauh.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, seberapa efektifkah kita melakukan proses pembelajaran secara online? Tentu jawabannya panjang dan tidak bisa hanya dijawab dengan sudah atau belum.
Jawaban yang sering kita dengar, bukan hanya dari tetangga atau omongan orang-orang di sekeliling kita, melainkan juga dari berita yang di kelurkan oleh media mainstream, mayoritas mengatakan bahwa pembelajaran online dinilai tidak efektif. Ada banyak alasannya, pertama, jangankan menggunakan sistem belajar online, sistem belajar tatap muka saja banyak anak murid yang tidak bisa menerima pelajaran secara baik, apalagi ini malah menggunakan sistem online.
Kedua, dalam konteks negara Indonesia, kita dihadapkan kenyataan bahwa infrastruktur yangvkita miliki masih belum memadai. Mungkin di daerah maju perkotaan sudah, tapi jika menengok ke daerah, banyak sekali ditemui daerah yang masih susah jaringan. Sehingga, jangankan untuk melakukan pembelajaran online melalui internet, untuk sekedar mencari jaringan seluler saja susah.
Kenyataan ini, mau tidak mau harus kita jalani. Kondisi ini dapat mengurangi kualitas pendidikan kita. Bahkan, menurut data dari Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara yang diranking berkaitan dengan tingkat literasi. Artinya, Indonesia termasuk negara dalam peringkat sepuluh terbawah dalam urutan literasi.
Data di atas merupakan data pada tahun 2019. Artinya, keadaan masih normal. Lalu bagaimana dengan keadaan masa pendemi, dengan sistem belajar online? Bisa jadi akan lebih menyedihkan.
Terlebih, di masa depan, kita dihadapkan dengan persaingan yang begitu ketat. Persaingan bukan hanya di tingkat lokal saja, melainkan juga persaingan di tingkat internasional. Salah satu modal yang paing kuat untuk memenangkan persaingan global adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan. Sebab pada akhirnya, kita dihadapkan pada persaingan kualitas dan mutu untuk meningkatkan skill dunia kerja.
Pekerjaan rumah lain yang belum kunjung usai adalah, adanya gap atau ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya antara Jawa dan luar Jawa. Kualitas pendidikan Jawa sangat bagus dan di luar Jawa, terutama di daerah-daerah terpencil, kualitas pendidikannya belum memenuhi standar. Mungkin beberapa waktu lalu, kita sempat dengar berita ada anak Sekolah Dasar (SD) berangkat sekolah dengan menyeberangi sungai dengan menggunakan box styrofoam di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Cerita di atas membuktikan bahwa, jangankan untuk bicara kualitas, bicara yang sifatnya infrastruktur fisik saja masih sangat kekurangan. Apalagi yang sifatnya kualitas (bukan fisik) seperti tingkat kemampuan siswa dan tenaga pendidikanya.
Kenyataan serupa juga terjadi pada pendidikan tingginya. Terjadi ketimpangan yang lebar antara daerah perkotaan yang ada di Jawa dan daerah lain di luar Jawa. Apalagi, untuk saat ini, terjadi fenomena menjamurkan pendirian pendidikan tinggi yang sayangnya tidak dibarengi dengan peningkatan mutu dan kualitas. Jika hal ini terus dibiarkan mengalir begitu saja, maka pendidikan tinggi tak ubahnya seperti penjual yang mengobral ijazah dan gelar secara murah meriah tanpa mempertimbangkan aspek-aspek kualitas. Sistem seperti ini jika tidak segera ditangani dengan baik, akan menghasilkan pengangguran terdidik. Mengapa pengangguran terdidik? Sebab mereka merupakan lulusan pendidikan tinggi yang tidak terserap oleh dunia kerja sebab kualitasnya rendah. Inilah yang dalam tulisan sederha ini, saya sebut sebagai Pendidikan di Persimpangan Jalan. Waalhu a’lam!
Ditulis oleh Misbahul Munir
Alumni Magister Ilmu Ekonomi FBE UII, Dosen STAI Ash-Shiddiqiyah Lempuing Jaya OKI dan Sekjen Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan
Catatan: tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis 30 September 2021 dan diunggah ulang di web ini atas izin penulis untuk tujuan penguatan publikasi institusi.