
Pandemi Covid-19 belum juga usah. Sudah hampir dua tahun menyebar di Indoensia. Dampaknya pun luar biasa. Mencengkram segala lini kehidupan umat manusian. Mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan, budaya dan bahkan perilaku keagamaan.
Berbagai kebijakan pemerintah jua telah dikeluarka guna mengusir virus asalah negara Tirai Bambu tersebut. Bantuan sosial dengan nilai triliunan rupiah juga sudah digelontorkan dari tahun 2020 lalu. Bukan hanya itu, bantuan-bantuan lain seperti paket data untuk pendidikan juga menjadi salah satu insentif pemerintah untuk menghadapi penyebaran Covid-19.
Istilah yang digunakan pemerintah untuk mengatasi penyebaran Covid-19 pun juga berubah-ubah. Pada masa awal penyebaran Covid-19 di Indonesia, pemerintah menggunakan istilah: (1) PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar); (2) kemudian muncul istilah baru yaitu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Jawa-Bali berlaku sejak 11 Januari di 7 provinsi yang ada di pulau Jawa dan Bali; (3) PPKM Mikro; (4) penebalan PPKM Mikro; (5) PPKM Darurat; dan terakhir (6) PPKM Level (mulai dari level 1 sampai empat) (Tribunnews.com, 2021).
Merujuk pada laman covid19.go.id, pada 7 September 2021, jumlah total masyarakat Indonesia yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 4.133.433 jiwa. Ini bukanlah angka yang kecil. Bahkan, angka tersebut merupakan urutan ke 13 dalam daftar negara dengan penduduk terkonfirmasi positif Covid-19 tertinggi di dunia (worldmeters, 2021).
Adanya Covid-19 ini, dengan segala dampak yang di bawanya, memunculkan kekhawatiran bagi semua kalangan. Terlebih, waktunya pun juga sudah sangat lama. Jika tidak ditangani secara tepat, bisa mengancam ketahanan negara. Salah satu sektor yang risikonya cukup mengkhawatirkan (riskan) adalah ketahanan pangan.
Ketahanan pangan menjadi salah satu sektor yang rasanya perlu untuk mendapatkan perhatian khusus saat menghadapi Covid-19. Terlebih, jika terjadi pembatasan kegiatan secara besar, maka otomatis ruang gerak untuk menciptakan (menanam) dan mendistribusikan bahan pangan juga terhambat. Tentu ini berbahaya. Padahal, setiap umat manusia, pasti membutuhkan pangan.
Merujuk pada FOA (Food and Agriculture Organization), yang merupakan organisasi pangan dan pertanian dunia di bawah naungan PBB, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi di mana setiap orang memiliki akses yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, aman da bergizi, baik secara fisik maupun ekonomi sepanjang waktu sesuai dengan kebutuhan. Masih merujuk pada FOA, terdapat 4 pilar dalam ketahanan pangan, meliputi: ketersediaan (availability); aksesibilitas (accessibility); pemanfaatan (utilisation); dan kestabilan (stability).
Jika mencermati definisi dan indikator ketahanan pangan sebagaimana yang dikeluarkan oleh FAO, maka, dalam konteks Indonesia, terutama saat menghadapi pandemi, kiranya juga perlu untuk mengacu pada hal-hal yang telah distandarkan oleh FAO tersebut berkaitan dengan ketahanan pangan di suatu negara. Di masa-masa pandemi seperti saat ini, kita harus memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia terpenuhi kebutuhan pangannya. Bukan hanya kebutuhan secara fisik kuantitas atau jumlahnya saja, melainkan juga kebutuhan secara kualitas seperti kecukupan gizi, vitamin, protein dan lain sebagainya. Semoga wabah ini segera berlalu dan dunia bisa berjalan normal seperti sedia kala. Wallahu a’lam!
Ditulis oleh Misbahul Munir
Alumni Magister Ilmu Ekonomi FBE UII, Dosen STAI Ash-Shiddiqiyah Lempuing Jaya OKI dan Sekjen Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan
CATATAN: Tulisan ini sebelumnya terbit di SKH Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis 16 September 2021, dan diunggah kembali untuk kepentingan arsip.