
Setalah dua tahun jeda akibat pandemi Covid-19, akhirnya pemerintah membolehkan mudik untuk perayaan hari raya idul fitri tahun 2022 ini. Mudik merupakan kegiatan unik yang mungkin tidak terjadi di negara-negara lain. Mudik mengandung banyak makna, lebih dari sekedar berkunjung dari satu tempat ke tempat lain. Lebih dari itu, terdapat dimensi-dimensi lain yang sarat akan makna. Mudik mempunyai arti kerinduan akan kampung halaman. Mudik juga sebagai sarana untuk merekatkan tali silaturrahmi sesama keluarga yang selama berpisah demi mencari penghasilan untuk kelangsungan hidup.
Selain dimensi-dimensi yang disebutkan di atas, ada satu dimensi yang akan menjadi pembahasan utama dalam tulisan sederhana ini. Dimensi tersebut adalah mudik ditinjau dari sisi ekonomi. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dibahas dalam kaitannya mudik dengan ekonomi, namun penulis akan membahas secara lebih spesifik lagi yaitu dalam pembahasan mengenai ketimpangan.
Menurut akademisi dari UGM Media Wahyudi Askari (2022), mudik bisa menjadi salah satu stimulus dalam menangani masalah ketimpangan Indonesia. Ketimpangan Indonesia memang merupakan salah satu yang terparah, bukan hanya di kawasan regional Asia Tenggara, melainkan juga di Asia bahkan dunia. Mengutip data laporan dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset kekayaan nasional. Sedangkan jika angka orang kaya dinaikkan menjadi 10 persen, maka mereka menguasai 70 persen aset kekayaan nasional. Artinya, hanya ada sekitar 30 persen kekayaan nasional yang diperebutkan oleh 90 persen orang Indonesia.
Jika kita amati, memang kekayaan di Indonesia hanya berputar di wilayah perkotaan saja. Mengutip data laporan dari Bank Indonesia (BI), 70 persen peredaran uang nasional hanya berputar di sekitar Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Artinya, sisanya yang hanya sebesar 30 persen berputar di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Data ini menguatkan fakta banhwa kondisi ketimpangan di Indonesia memang kian parah.
Mudik menjadi semacam penawar bagi masalah ketimpangan di Indonesia. Dengan adanya mudik, banyak orang kota yang pergi ke desa-desa di seluruh pelosok nusantara dengan membawa uangnya. Uang tersebut dibelanjakan di kampung halamannya yang secara tidak langsung akan membantu meningkatkan aktivitas perekonomian desa. Sehingga, perputaran uang akan lebih menyebar dari yang sebelumnya hanya berpusat di kota-kota besar menjadi beralih di wilayah desa.
Ekonomi desa, yang sebelumnya jumlah transaksinya terbatas, dengan adanya orang-orang kota yang mudik, menjadi meningkat. Hasil-hasil tanaman di desa menjadi banyak yang laku. Warung-warung tetangga yang sebelumnya tidak begitu ramai, kini mulai ramai oleh para pemudik. Petani desa akan lebih banyak menjual hasil pertaniannya. Begitu juga dengan sektor lain, baik barang ataupun jasa yang ada di desa akan semakin meningkat. Maka secara otomatis akan meningkatkan tingkat pendapatan dan juga kesejahteraan masyarakat desa.
Semua itu merupakan manfaat ekonomi. Belum lagi jika bicara manfaat selain ekonomi, misalnya, para pemudik bisa bertemu dengan orang tuanya yang sudah mulai renta di makan usia. Kita datang merengkuh memeluknya dengan isak tangis melepas kerinduang yang mungkin belum bisa pulang dalam beberapa tahun sebelumnya. Tentu ini juga menjadi salah satu manfaat yang bahkan mungkin tidak ternilai secara ukurang apapun.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi, namun hasilnya juga masih belum signifikan berpengaruh. Momentum mudik bisa menjadi salah satu obat peredanya. Meskipun hanya sebentar, yang waktunya mungkin hanya satu atau dua minggu saja.
Demikian manfaat dari mudik, baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Secara ekonomi, mudik sebagai salah satu obat bagi penyakit ketimpangan Indonesia. Mudik bisa meningkatkan aktivitas ekonomi daerah. Maka, untuk para pemudik, hendaknya lebih banyak membelanjakan uangnya di daerah agar perputaran uang di daerah juga meningkat, tidak hanya berpusat di kota besar saja. Wallahu a’lam!
Oleh Misbahul Munir
Salah satu Staf Pengajar di Prodi EKonomi Syariah STAI Ash-Shiddiqiyah OKI
Tulisan ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat Edisi Kamis, 19 Mei 2022.